Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Monday, November 28, 2005

Freud dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Review Film Belahan Jiwa

Sejatinya film memang bukan hanya sebuah media hiburan semata. Ada pesan yang berusaha disampaikan. Hanya saja bahasa yang digunakan tidaklah segamblang ujaran yang biasa kita gunakan. Lewat kiasan dan metafora sineas selalu berusaha untuk berinteraksi dengan para penonton.

Maka muncullah berbagai genre film. Mulai dari drama, komedi, aksi, sampai horor. Dengan cara dan gayanya masing-masing tiap genre mencoba untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Ini dilakukan selain karena selera yang berbeda, juga demi kepentingan bisnis industri film itu sendiri.

Kalau Hollywood sebagai kiblat film mainstream memiliki koleksi lengkap film dari berbagai genre dan tema tentu wajar. Karena di sana industri ini sudah berkembang selama puluhan tahun. Sementara di Indonesia sendiri yang kebangkitan dunia perfilmannya masih dalam hitungan jari bermunculannya berbagai genre dan tema baru membawa angin segar tersendiri. Selain bisa digunakan sebagai indikator kembali sehatnya dunia perfilman, juga menunjukkan suburnya kreativitas para sineas kita.

Setelah sejak awal bangkitnya film Indonesia sampai saat ini penonton dijejali film-film bertemakan cinta dan horor maka hadirnya Belahan Jiwa bagai menekan tombol F5 pada keyboard komputer Anda (refresh maksudnya-red). Meski masih dibungkus dalam sebuah kisah cinta film ini tidak menjadi kacangan. Karena memang bukan itu sebenarnya yang hendak ditampilkan dalam film ini.

Cerita diawali dengan mengisahkan aktivitas keempat tokoh. Farlyna (Dina Olivia) seorang designer betawi-garing yang terobsesi dengan pakaian terbuka, Arimbi (Marcella Zalianty) wanita lembut berprofesi sebagai psikiater yang terobsesi pada rambut, Cairo (Rachel Maryam) pelukis eksentrik yang rada-rada psycho, dan Baby Blue (Nirina Zubir) arsitek-tri language yang selalu terkenang kematian saudara kembarnya Baby Pink. Mereka berempat sangat dekat. Hingga terucap ikrar "Kucing kurus dikejar herder, ampe mampus soulmate forever" yang menyatukan keempatnya dalam sebuah ikatan.

Tokoh Cempaka (Dian Sastrowardoyo) dan Bumi (Alexander Wiguna) digambarkan sebagai sepasang kekasih yang hubungannya selalu mengalami pasang surut amat drastis. Perubahan pada diri Cempaka bisa terjadi dalam hitungan detik. Dari yang tadinya lembut dan mesra bisa langsung berubah jadi meledak-ledak, sangat defensif sekaligus agresif. Sedangkan Bumi yang lembut selalu sabar mendampingi dan menghadapi Cempaka. Ia sadar sesuatu sedang terjadi dalam diri Cempaka yang lebih dari sekedar dorongan mood semata.

Layaknya sebuah hubungan, akan terasa hambar jika berjalan datar-datar saja tanpa konflik. Para soulmates ini pun demikian. Kebersamaan yang telah berlangsung lama memang telah membangun sebuah kedekatan sendiri diantara mereka. Beberapa kejadian yang mereka alami secara bersamaan semakin meyakinkan bahwa masing-masing dari mereka memang ditakdirkan untuk bertemu dan selalu bersama. Sampai pada suatu saat semuanya terkejut karena pada saat yang bersamaan mereka hamil. Dan yang makin mengejutkan mereka hamil oleh orang yang sama. Bumi.

Peran sutradara wanita ternyata membawa sebuah sentuhan sendiri dalam sebuah film. Khusus dalam perfilman Indonesia, umumnya mereka menempatkan wanita sebagai subyek. Dengan cerdas mereka selalu menempatkan tokoh wanita pada posisi sentral tanpa terlihat superior dibandingkan tokoh pria. Lihat saja Ca Bau Kan, Arisan, dan yang terbaru Belahan Jiwa. Film-film tersebut pantas diacungi jempol.

Pengalaman Sekar Ayu Asmara (Sutradara & Penulis Cerita) sebagai penulis novel thriller sangat berpengaruh dalam film ini. Kepiawaiannya menjadikan alur film yang sebenarnya flash back ini terasa mengalir. Sehingga jangan heran jika Anda baru sadar cerita sebenarnya di menit-menit terakhir.

Sedikit bocoran (spoiler) perhatikan transisi gambar yang mengganggu sepanjang film. Selain itu, Anda yang akrab dengan Psikoanalisis-nya Sigmund Freud mungkin sudah bisa menebak cerita sebenarnya ketika Arimbi meregresi seorang pasien saat menjalani terapi.

Belahan Jiwa pada dasarnya memang sebuah film drama. Dengan jalinan cinta tokoh-tokohnya sebagai bumbu cerita. Tapi Anda jangan mengharapkan film ini dihiasi dengan soundtrack lagu-lagu yang memorable. Ilustrasi musiknya pun tidak istimewa. Film ini memang sederhana dari segi audio.

Dari segi visual Belahan Jiwa menyuguhkan kualitas gambar yang prima. Tampilan di layar terlihat cerah dan jernih, bersih dari cacing-cacing yang kerap muncul ketika kita menonton film (biasanya si) Hollywood. Tapi keunggulannya bukan hanya itu. Penataan gambar yang memanfaatkan skill fotografer profesional sekelas Roy Lolang pun memberi nilai plus film ini. Framing maupun camera works arahan Bung Roy menghasilkan gambar-gambar yang sedap dipandang.

Penokohan dalam Belahan Jiwa terbilang unik. Perhatikan karakter Bumi. Ia terlihat lebih perempuan dibanding tokoh wanita lainnya. Lembut, penyabar, pengertian bahkan intonasi ketika bicaranya pun jauh dari kesan maskulin. Ini bertolak belakang dengan metafora bumi yang biasa ditemukan dalam karya sastra. Bumi dalam dunia sastra adalah simbol dari karakter seorang wanita. Tempat dimana semua makhluk memulai kehidupan, tumbuh, berkembang, dan akhirnya mati.

Sayangnya karakter setiap tokoh terasa kurang maksimal dibawakan oleh pemerannya. Para pemeran masih belum bisa keluar dari stereotype perannya selama ini. Terutama peran yang telah membesarkan nama mereka. Hasilnya, Anda mungkin akan merujuk akting para pemeran kembali ke film-film awal mereka.

Buat Anda penikmat film dengan twisted ataupun ending yang menggantung silakan kecewa. Karena di akhir film semuanya dipaparkan dengan jelas. (Sebuah blunder menurut saya dari film dengan tema seperti ini. Apalagi penataan alur yang sedemikian apik dapat mengecoh sebagian besar penonton.) Bahkan sebuah kalimat yang sekaligus diharapkan dapat menyadarkan penonton sebagai peringatan diselipkan sebelum credit title. Sepertinya, tanpa bermaksud meremehkan logika penonton tentu, tokoh di balik layar film ini hendak menegaskan pesan yang disampaikan.

Kekuatan Belahan Jiwa memang terletak pada ceritanya. Tema yang sebenarnya berat dapat diangkat dengan baik oleh Sekar Ayu Asmara. Padahal, menurut catatan saya, ini adalah kiprah keduanya terjun ke layar lebar setelah menggarap Biola Tak Berdawai. Peran ganda sebagai sutradara dan penulis cerita ternyata justru memberikan keleluasaan berkreasi yang menjadikan film ini layak diganjar penghargaan (dari saya setidaknya). Menurut Anda?

1 Comments:

  • At 2:50 PM , Blogger arifolution said...

    Beberapa temen yang kurang suka mengapresiasi film2 rumit, cerita ke saya kalo film ini nggak bagus. Tapi saya justru penasaran untuk nonton. Dan setelah melihat sendiri, ternyata filmnya bagus. Tapi saya bertanya sendiri, apa tema multi kepribadian nggak mengekor pada novel2 psikologis yang beberapa waktu lalu booming? Kayak 24 Wajah Billy, dll. Yang jelas saya sepakat dengan Mas Acung kalo film seperti ini termasuk terobosan baru di dunia perfilman tanah air.

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home