Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Saturday, December 31, 2005

Resolusioner

Pergantian tahun sudah di depan mata. Aroma kemeriahan merebak di sana-sini. Berbagai tempat menawarkan menu keriaan untuk menarik pengunjung. Menjanjikan momen yang bisa dikenang sepanjang tahun berikutnya.

Tiap tahun selalu begitu. Hari-hari terakhir bulan Desember seolah menjadi terlalu berharga untuk dilewatkan. Bahkan hitungan jam, menit, dan detik terakhirnya terasa berbeda. Menjadikannya selalu ditunggu.

Ketika tiba masanya, kemeriahan pun membuncah. Entah karena detik terakhir baru saja berlalu atau detik pertama baru saja tiba. Keduanya jadi teramat sulit untuk dibedakan.

Diantara celahnya terselip banyak harapan, mimpi, juga do'a. Para pemiliknya beranggapan itulah yang membuat mereka hidup. Pasal di penghujung tahun nanti terpenuhi atau tidak, itu urusan nanti. Toh akan selalu ada tempat untuk menimpakan kesalahan.

Maka ketika waktu kembali bergulir semua kembali seperti sedia kala. Belenggu rutinitas kian mengeras, dipacu tuntutan kebutuhan hidup yang makin tak terkejar. Belum lagi tarikan dari kiri-kanan yang selalu tampak lebih indah. Semuanya perlahan mengaburkan...

Dan mereka pun mulai ditinggalkan. Atas nama prioritas semuanya bisa berubah. Satu demi satu mereka tersisihkan. Waktu demi waktu mereka makin terabaikan. Hingga jadilah mereka harus berhimpitan dengan sesamanya yang bernasib serupa. Terlipat dalam lembaran waktu.

Setelah sekian lama, mereka kembali menyapa. Sekedar menyegarkan ingatan kalau mereka ada. Dan waktunya tidak lagi banyak untuk membuat mereka nyata. Karena penghujung tahun kembali tiba.

Dengan tergesa semuanya coba ditunaikan. Namun tak perlu khawatir jika tak seluruhnya terpenuhi. Tinggal buat saja lagi yang baru dan lihat apa yang akan terjadi. Masih ada tahun depan yang menunggu.


Ampuni aku yang belum teguh memegang ikrarku. Meski berkali terucap... setiap hari..

Friday, December 23, 2005

Obsesi+Animasi CGI=Peter Jackson

Review Film King Kong

Krisis ekonomi memang selalu membuat frustasi. Tak peduli siapapun bisa kena hantamannya. Ann Darrow (Naomi Watts) yang seorang pemain teater adalah salah satunya. Ia yang biasa tampil di panggung kelas menengah ke bawah harus merasakan pahitnya menjadi orang tak punya. Tak bisa melanjutkan pertunjukan bersama rekan-rekannya yang lain karena gedung teater tempatnya biasa tampil disita, membuatnya terpaksa mencuri sebutir apel hanya untuk mengganjal perut. Saat itu ia belum menerima bayaran sepeser pun dari penampilan-penampilan sebelumnya.

Musibah ini justru sebuah blessing in disguise baginya. Nyaris mengalami peristiwa buruk karena tertangkap tangan saat mencuri apel, Ann justru dipertemukan dengan Carl Denham (Jack Black) seorang sutradara ambisius yang sedang mencari pemeran wanita untuk filmnya. Awalnya Ann tidak berminat. Tapi setelah Carl mengatakan bahwa skenario untuk filmnya digarap Jack Driscoll (Adrien Brody) pendirian Ann goyah. Ia memang nge-fans pada Jack.

Jadilah mereka berlayar. Carl memang mengatakan bakal melakukan shooting di atas kapal yang sedang berlayar menuju Singapura. Padahal rencana sebenarnya adalah mencari sebuah pulau yang disebut Pulau Tengkorak (Skull Island) yang belum pernah ditemukan. Karenanya tidak pernah tercantum dalam peta manapun.

Ketika awak kapal mengetahui maksud Carl sebenarnya, mereka tidak setuju. Tapi ternyata mereka terlambat! Kapal mereka ditelan kabut yang kemudian menuntun mereka ke Pulau Tengkorak. Carl tentu saja senang. Ia dengan bersemangat membawa kru dan pemainnya ke pulau itu. Kedatangan mereka "disambut" penduduk lokal hingga jatuh korban. Ujungnya, Ann diculik dari kapal sekembalinya mereka dari pulau itu.
***
Orang mengenal Peter Jackson setelah trilogi TLOTR mencetak sukses besar pada peredarannya. Maka apapun karya Jackson selanjutnya bukan tidak mungkin akan selalu dibandingkan dengan TLOTR. Tak peduli dengan tema atau genre yang berbeda.

King Kong sebenarnya masih memakai pakem yang sama dengan TLOTR. Jackson bahkan kembali memakai tim dan perusahaan maestro efek digital (Weta Digital Ltd. dan Weta Workshop Ltd.) yang sama. Tak lebih karena ia ingin mewujudkan obsesinya selama 35 tahun menjadi menyata. Sekaligus melunasi hutangnya pada versi awal film ini yang dirilis tahun 1933 yang membuatnya bermimpi untuk menjadi seorang sutradara. Yaitu membuat remake terbaik dengan dukungan teknologi tinggi.

Hasilnya sangat layak diacungi jempol. Pemilihan setting tahun 1930-an dimana AS sedang mengalami depresi ekonomi salah satu adalah salah satunya. Jackson berhasil menghadirkan atmosfir dan suasananya dengan baik. Setting lokasi maupun properti lainnya seperti mobil, trem dan lain sebagainya berhasil dihadirkan kembali.

Sebagian memang ada yang mempertanyakan maksud dihadirkannya Dinosaurus dalam remake ini. Apalagi ada beberapa adegan yang membawa penonton terkenang pada Jurassic Park. Padahal ini wajar saja. Mengingat Jackson sepertinya termasuk generasi hi-tech director. Ia, selain perfeksionis, sadar benar akan peran teknologi untuk menghidupkan film fiksi seperti ini.

Tapi itu bukan berarti aktor dan aktrisnya dinomorduakan. Jackson tetap berusaha memberikan porsi yang cukup bagi mereka. Pada sekitar 30 menit pertama, ia mencoba menampilkan talenta ketiga pemeran utama dan pemeran pendukung lainnya. Karakter dari masing-masing tokoh juga dibangun sepanjang durasi itu. Ini memang menjadikannya terkesan terlalu lama untuk masuk ke inti cerita. Namun, dibandingkan durasinya yang sekitar 3 jam, opening yang terasa lambat itu jadi terasa tidak berarti.

Durasi sepanjang itu tidak akan membuat Anda bosan. Apalagi setelah ketegangan demi ketegangan disuguhkan. Hebatnya, Anda akan merasakan flow yang brilian pada film ini. Antara ketegangan satu dengan yang lainnya diberikan jeda yang manis. Satu-dua jeda bahkan dikemas secara jenaka untuk menurunkan adrenalin yang sempat terpacu. Padahal adegan berikutnya bisa jadi makin membuat jantung Anda berdebar lebih keras.

Akting Jack Black, Naomi Watts, dan Adrien Brody memang tidak optimal. Karena King Kong memang bukan jenis film yang bertabur bintang dan penuh dengan olah karakter para pemainnya. Kalau itu yang Anda harapkan, tonton saja film drama!

Tapi Anda akan tetap mendapat suguhan drama yang bagus. Kalau Anda memperhatikan, ada sesuatu yang luar biasa antara King Kong dengan Ann. Sejak awal Ann berusaha untuk berkomunikasi melalui bahasa tubuh dengan King Kong sampai ketika terbentuk sebuah ikatan emosional diantara keduanya. Saya dibuat takjub ketika Ann dan King Kong sama-sama terpesona saat menyaksikan sunset dan sunrise dari ketinggian. Kecemburuan King Kong saat Ann direnggut darinya juga berhasil menampilkan sisi manusiawi makhluk ini. Membuat saya dengan isengnya menyebut film ini sebagai film maskulin.

Selain sebagai nominator sutradara terbaik dalam ajang Golden Globe Award, King Kong juga menjadi nominator dalam kategori Best Score (Musik Latar Adegan Terbaik). Tak diragukan lagi memang kepiawaian dan pengalaman James Newton Howard dalam bidang yang satu ini. Ia berhasil menyajikan suasana yang mendukung adegan yang sedang berlangsung lewat ilustrasi musiknya. Bahkan dalam adegan menegangkan sekalipun. Ini juga salah satu alasan mengapa Anda harus menontonnya dengan sistem tata suara minimal Dolby Digital Surruond. DTS tentu akan menyajikan kualitas suara yang lebih baik. Sementara Anda yang memilih menonton bajakannya, silakan menyesal!

Dihujani berbagai pujian bukan berarti King Kong tanpa cacat. Meski menggunakan efek digital tercanggih, ada beberapa adegan yang masih terlihat kasar. Salah satunya adalah ketika rombongan penjelajah berusaha menyelamatkan diri ketika dikejar Brontosaurus yang juga berusaha menghindar dari kejaran Raptor. Kualitas gambar yang sedikit bercacing di akhir film juga masih terlihat. Selain itu, ada juga beberapa movie magic yang mengganjal namun tidak akan saya ungkap di sini. Anda yang jeli pasti bisa menemukannya.

Saya memang belum pernah menonton film lain garapan sang sutradara selain trilogi TLOTR. Bahkan Heavenly Creatures (1996) yang batal edar karena produser menganggap pada tahun yang sama banyak bermunculan film-film sejenis (Mighty Joe Young, Godzilla) pun saya tidak tahu kabarnya.

Tapi mengingat TLOTR dan King Kong, tidak berlebihan kiranya kalau menobatkan Peter Jackson sebagai sutradara yang berhasil mem-blend animasi CGI dengan aktor dan aktrisnya dalam sebuah film. Apalagi kalau mengingat perfeksionisme dan obsesi besar yang selalu dimilikinya. Kita tantang saja Mr. Jackson untuk membuat film yang benar-benar "asli" garapannya. Tanpa embel-embel adaptasi apalagi remake. Anda setuju?

Wednesday, December 21, 2005

Pada Sebuah Barisan

11:30. Ruangan itu baru terisi kurang dari setengahnya. Sebagian besar yang hadir sudah tidak muda lagi. Dengan kulit yang sudah kehilangan elastisitasnya dan rambut putih keperakan yang menjadi mahkota, mereka tepekur merendahkan diri. Seolah bersiap menghadapi satu-satunya kepastian dalam hidup.

Entah kekuatan apa yang membimbing. Mungkin pemahaman kalimat "Remember that death it's not the end, it is only a transition"* lah alasannya. Sehingga dengan sepenuh hati tanpa ragu lagi, mereka berada di garis depan tepat di belakang sang pemimpin. Berjajar rapi membentuk garis lurus yang membentang ujung utara-selatan ruangan itu. Menghadap arah Barat.

Sedikit demi sedikit ruangan itu makin padat. Kali ini yang datang terlihat lebih fresh. Segar bugar dan energik, meski agak lesu. Satu dua bahkan terlihat dengan tampilan yang eksklusif. Ada juga yang datang berkelompok dalam jumlah kecil. Mereka kemudian mengambil posisi yang paling strategis. Menyebar di dekat jendela, kipas angin atau teras di sekitar ruangan utama. Tak sedikit yang langsung membooking pilar bangunan untuk bersandar.

Beberapa saat setelah seruan undangan berkumandang, barulah tempat suci itu penuh. Bahkan sampai luber ke sisi kiri kanannya. Mereka yang sudah tidak kebagian tempat lagi dengan kreatif menggelar alas seadanya. Koran dan tabloid, tak peduli baru atau bekas, dibentangkan sebagai penyekat antara tubuh dengan tanah.

Ritual seminggu sekali itu pun dimulai. Dari atas mimbar seruan kebaikan menggema. Kalimat yang terucap terdengar santun, teduh, dan bijak. Jauh dari kesan urakan. Senada dengan paras penyerunya yang tidak bisa dibilang muda.

Tanpa dikomando semua bungkam. Mencoba menyimak pesan dan seruan yang disampaikan. Beberapa orang tertunduk. Ada pula yang kepalanya mengangguk-angguk. Seperti menyetujui atau memahami tiap kalimat yang didengar. Ajaibnya, mata mereka terkatup rapat! Terutama yang berhasil menduduki titik-titik strategis dan sekitarnya.

Semua sontak kembali serius. Tepat ketika munajat dimulai. Mata-mata yang sebelumnya terkatup kini terbuka. "Amin" serentak terucap mengisi jeda tiap permintaan yang dipanjatkan. Meski begitu, satu dua orang masih asyik dengan mimpinya. Hingga saudara disebelahnya harus mencolek atau menepuknya seraya mengingatkan, "Sudah waktunya menghadap".

Usai salam kedua semuanya berakhir. Selanjutnya "hanya" aktivitas tidak wajib penyambung rasa antara makhluk dengan penciptanya. Maka kerumunan itu mulai pecah. Setelah memohon seadanya, satu persatu bangkit dari simpuhnya. Yang menjadi pionir meninggalkan tempat itu rata-rata justru yang datang beberapa saat menjelang acara dimulai. Muda, segar, dan berada di barisan belakang, teras sekeliling ruang utama atau di halaman. Malah banyak yang sebelumnya ada di tempat strategis.

Tempat itu kembali beranjak sepi. Hingga hanya tersisa baris-baris depan saja. Penghuninya masih tetap mereka yang datang sejak awal. Beberapa bahkan ada di situ jauh sebelum acara dimulai. Mereka masih saja sibuk memohon. Seperti tak ingin berpisah dengan sang kekasih.

Orang muda hanya terlihat satu dua. Mungkin hanya sebanyak itulah yang sadar kelemahan dirinya. Sehingga membuat mereka betah berlama-lama bersimpuh. Atau mereka sebenarnya ingin berlomba dengan para seniornya dalam merebut simpati sang kekasih?

Sementara yang lain mulai sibuk dengan berbagai urusan. Melanjutkan rutinitas yang sebelumnya sempat tertunda. Berpacu dengan waktu. Saling salip dengan tenggat. Semua atas nama tugas semata. Yang ketika pada akhirnya selesai ditunaikan, patut mendapat sebuah perayaan.

Tak ada yang salah memang. Mungkin memang itulah kehidupan sekarang. Cepat dan dinamis. Pilihannya pun jadi makin sempit: ikut atau tertinggal. Dan sebagian besar memilih ikut. Karena ada yang bilang, "Semuanya akan tetap berjalan sampai dirimu sendiri yang menentukan untuk berhenti".

Sementara sebagian kecil memutuskan untuk tinggal. Untuk mengingatkan bahwa ada hal lain yang harus dikejar. Atau persoalan pelik yang menuntut untuk dipikirkan. Dan yang paling penting, butuh pengorbanan besar untuk jadi pelakunya.


*Dream Theater, Metropolis Part 2: Scenes From A Memory (1999)

Saturday, December 17, 2005

Negeri Anak-anak, Remaja atau Dewasa

Review Film The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe

Malam masih pekat. Ketika tiba-tiba udara dipenuhi suara raungan mesin pesawat terbang, bunyi ledakan, dan jerit ketakutan. Panik! Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Lari ke bunker atau tempat persembunyian lainnya. Mencoba menghindar dari maut yang mengintip tiap saat. Siap menjemput siapa saja. Terutama saat perang.

Di tengah kekacauan perang itu, Peter, Susan, Edmund, dan Lucy Pevensie diungsikan ibunya ke tempat lain. Mereka dititipkan kepada seorang Profesor eksentrik yang tinggal dalam sebuah kastil besar. Pembantunya membekali berbagai macam aturan selama tinggal di kastil itu. Dua hal yang terpenting adalah tidak mengganggu sang Profesor dan tidak menyentuh benda-benda antik di situ.

Namun, saat bermain petak umpet Lucy menemukan sebuah dunia lain di belakang lemari tempatnya sembunyi. Sebuah negeri yang - menurut faun (makhluk setengah manusia berkaki kuda) bernama Tumnus yang ditemuinya - telah mengalami musim dingin selama 100 tahun. Ulah seorang Penyihir Putih yang leluasa berkuasa karena tak ada seorang pun yang berani menentangnya.

Sayangnya, ketika Lucy menceritakan penemuannya ini tak seorang pun dari saudara-saudaranya yang percaya. Ia dianggap hanya berkhayal. Hingga suatu saat, mereka berempat terpaksa masuk ke dalam lemari untuk sembunyi. Peter dan Susan yang baru kali itu "datang" akhirnya mempercayai Lucy. Dan, petualangan mereka di sebuah negeri bernama Narnia pun dimulai.
***
The Chronicles of Narnia; The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah salah satu proyek ambisius Disney. Bagaimana tidak, Narnia menjanjikan cerita keluarga yang dibalut dalam kisah epik petualangan fantasi. Konflik empat bersaudara yang berusaha menjaga keutuhan keluarga dibumbui petualangan di sebuah negeri asing yang ajaib. Di mana mereka, menurut sebuah ramalan, ditakdirkan menjadi pembebas negeri itu dari tangan Penyihir Putih.

Wajar saja memang. Mengingat setelah trilogi The Lord of The Ring karya J.R.R. Tolkien sukses besar diangkat ke layar lebar, banyak kisah epik yang kemudian juga difilmkan. Troy, Alexander, King Arthur, dan yang terakhir Kingdom of Heaven untuk menyebut beberapa judul. Meski tidak semuanya menuai sukses seperti TLOTR, raihan yang rata-rata cukup besar membuat studio sebesar Disney pun tergiur untuk meraup keuntungan dari genre ini.

Disney menggunakan ramuan tipikalnya dan momen yang tepat untuk merilis Narnia. Cerita yang berkutat di seputar Pevensie bersaudara saat jauh dari orang tua jadi menu utama. Konflik antara Peter anak lelaki tertua yang berusaha menggantikan peran sang ayah, Susan yang terlihat bersaing dengan Peter dalam merebut simpati adik-adiknya, Edmund yang pemberontak karena selain sebagai lelaki ia merasa dinomorduakan ia juga memiliki ikatan batin yang kuat dengan ayahnya, dan si kecil Lucy yang selalu saja dicap sebagai pengkhayal adalah "lahan" yang digarap Disney. Sementara, bagi orang bule yang sudah familiar dengan Narnia, rilis film ini di bulan Desember dirasakan tepat. Mereka yang notabene sebagian besar umat Kristiani tentu tidak terlalu sulit melihat pesan lain dari film ini. Karena karya C.S. Lewis memang dikenal dengan kisah menarik yang sarat dengan nilai religius. Maka kehadirannya dalam suasana Natal diharapkan dapat membuat suasana liburan keluarga semakin bermakna.

(Sekedar info Narnia adalah salah satu karya C.S. Lewis, seorang penulis yang sezaman sekaligus sobat karibnya Tolkien. Konon, mereka berdua pernah membuat semacam kesepakatan untuk membuat kisah yang diinspirasi dari dan mengangkat nilai-nilai moral Bible. Hasilnya, karya monumental mereka memang banyak mengilhami penulis-penulis generasi berikutnya.)

Sayangnya Disney terasa kurang serius menggarap Narnia. Bahkan terkesan gamang. Disney yang selalu membidik keluarga sebagai target penontonnya, (menurut saya) gagal memfokuskan sasaran. Memang, AMPAS (semacam LSF-nya sono) memberi rating PG (Parents Guide atau Bimbingan Orang tua) untuk film ini. Tapi ini bukan berarti Narnia otomatis menjadi film keluarga. Rating tersebut rasanya diberikan dengan pertimbangan durasi yang panjang, sekitar 140 menit.

Durasi sepanjang itu tentu melelahkan bagi anak-anak. Apalagi jika disuguhkan dengan alur yang lambat. Jadi, rasanya tidak mungkin memberi rating G (General Audience atau Untuk Semua Umur) untuk film ini. Sementara bagi remaja yang sudah lebih dulu tersihir Harry Potter, tentu mendambakan petualangan yang seru sepanjang film. Dan bagi para orang tua, mungkin akan mengharapkan kisah lebih "berat" yang kemudian bisa dicerna dan dibagi kepada anak-anaknya.

Semua harapan itu tak bisa dipenuhi Disney. Alur cerita dalam Narnia berjalan sangat lambat. Bayangkan, selama kurang lebih satu jam Anda hanya disuguhi pengantar saja. Baru pada paruh berikutnya lah petualangan The Pevensies di Narnia dimulai. Itu pun dengan tersendat-sendat. Aksi petualangan dan adegan perang kolosal yang menjadi daya tarik penonton usia remaja ke atas mendapat porsi yang minim dari total durasi. Alhasil, durasi sepanjang itu terkesan sebagai pemaksaan improvisasi saja.

Selain itu, sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan: "Narnia tu film apa sih?" Karena untuk menyebutnya film drama keluarga sangatlah tidak mungkin. Sementara untuk mengganjarnya sebagai film aksi petualangan juga tidak memenuhi kriteria. Apalagi untuk mengatakannya film epik. Maka jadilah Narnia sebagai salah satu film fiksi-legenda-religius bagi saya.

Kualitas gambar yang jernih adalah salah satu yang bisa saya acungi jempol dari film ini. Gambar yang ditampilkan sejernih Belahan Jiwa, tanpa cacing-cacing atau bintik-bintik. Anda yang biasanya langsung berdiri dari tempat duduk begitu film selesai sebaiknya bersabar sejenak. Karena ada sepotong adegan pendek yang diselipkan diantara credit title (itu lho, nama-nama pemeran dan kru-nya). Saya pun mendengar Alanis Morisette menyanyikan sebuah soundtrack di akhir film ini. Tepatnya ketika credit title bergulung.

Sementara untuk audio, saya berharap ini hanya kasuistik belaka. Saat saya menonton, audio yang terdengar tidak seperti suara standar surround sebuah bioskop. Efek surround terdengar tipis sekali. Suara bass dari sub woofer juga terasa kasar dan nggak nendang sama sekali. Bahkan, ini yang aneh, setting suaranya terdengar flat. Anda yang penggemar hi-end audio atau yang terbiasa mendengarkan suara dari berbagai perangkat elektronik yang berbeda mungkin bisa merasakannya.

C.S. Lewis memang beda dengan Tolkien. Ia memiliki pembacanya sendiri, anak-anak. Maka ketika kisahnya diangkat ke layar lebar dan dimaksudkan untuk konsumsi yang lebih luas, diperlukan ketekunan yang luar biasa dalam penggodokannya. Mulai dari pra sampai dengan pasca produksi. Sehingga penonton, baik yang sudah pernah membaca bukunya maupun yang belum, dapat menikmati suguhan yang apik.