Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Friday, December 23, 2005

Obsesi+Animasi CGI=Peter Jackson

Review Film King Kong

Krisis ekonomi memang selalu membuat frustasi. Tak peduli siapapun bisa kena hantamannya. Ann Darrow (Naomi Watts) yang seorang pemain teater adalah salah satunya. Ia yang biasa tampil di panggung kelas menengah ke bawah harus merasakan pahitnya menjadi orang tak punya. Tak bisa melanjutkan pertunjukan bersama rekan-rekannya yang lain karena gedung teater tempatnya biasa tampil disita, membuatnya terpaksa mencuri sebutir apel hanya untuk mengganjal perut. Saat itu ia belum menerima bayaran sepeser pun dari penampilan-penampilan sebelumnya.

Musibah ini justru sebuah blessing in disguise baginya. Nyaris mengalami peristiwa buruk karena tertangkap tangan saat mencuri apel, Ann justru dipertemukan dengan Carl Denham (Jack Black) seorang sutradara ambisius yang sedang mencari pemeran wanita untuk filmnya. Awalnya Ann tidak berminat. Tapi setelah Carl mengatakan bahwa skenario untuk filmnya digarap Jack Driscoll (Adrien Brody) pendirian Ann goyah. Ia memang nge-fans pada Jack.

Jadilah mereka berlayar. Carl memang mengatakan bakal melakukan shooting di atas kapal yang sedang berlayar menuju Singapura. Padahal rencana sebenarnya adalah mencari sebuah pulau yang disebut Pulau Tengkorak (Skull Island) yang belum pernah ditemukan. Karenanya tidak pernah tercantum dalam peta manapun.

Ketika awak kapal mengetahui maksud Carl sebenarnya, mereka tidak setuju. Tapi ternyata mereka terlambat! Kapal mereka ditelan kabut yang kemudian menuntun mereka ke Pulau Tengkorak. Carl tentu saja senang. Ia dengan bersemangat membawa kru dan pemainnya ke pulau itu. Kedatangan mereka "disambut" penduduk lokal hingga jatuh korban. Ujungnya, Ann diculik dari kapal sekembalinya mereka dari pulau itu.
***
Orang mengenal Peter Jackson setelah trilogi TLOTR mencetak sukses besar pada peredarannya. Maka apapun karya Jackson selanjutnya bukan tidak mungkin akan selalu dibandingkan dengan TLOTR. Tak peduli dengan tema atau genre yang berbeda.

King Kong sebenarnya masih memakai pakem yang sama dengan TLOTR. Jackson bahkan kembali memakai tim dan perusahaan maestro efek digital (Weta Digital Ltd. dan Weta Workshop Ltd.) yang sama. Tak lebih karena ia ingin mewujudkan obsesinya selama 35 tahun menjadi menyata. Sekaligus melunasi hutangnya pada versi awal film ini yang dirilis tahun 1933 yang membuatnya bermimpi untuk menjadi seorang sutradara. Yaitu membuat remake terbaik dengan dukungan teknologi tinggi.

Hasilnya sangat layak diacungi jempol. Pemilihan setting tahun 1930-an dimana AS sedang mengalami depresi ekonomi salah satu adalah salah satunya. Jackson berhasil menghadirkan atmosfir dan suasananya dengan baik. Setting lokasi maupun properti lainnya seperti mobil, trem dan lain sebagainya berhasil dihadirkan kembali.

Sebagian memang ada yang mempertanyakan maksud dihadirkannya Dinosaurus dalam remake ini. Apalagi ada beberapa adegan yang membawa penonton terkenang pada Jurassic Park. Padahal ini wajar saja. Mengingat Jackson sepertinya termasuk generasi hi-tech director. Ia, selain perfeksionis, sadar benar akan peran teknologi untuk menghidupkan film fiksi seperti ini.

Tapi itu bukan berarti aktor dan aktrisnya dinomorduakan. Jackson tetap berusaha memberikan porsi yang cukup bagi mereka. Pada sekitar 30 menit pertama, ia mencoba menampilkan talenta ketiga pemeran utama dan pemeran pendukung lainnya. Karakter dari masing-masing tokoh juga dibangun sepanjang durasi itu. Ini memang menjadikannya terkesan terlalu lama untuk masuk ke inti cerita. Namun, dibandingkan durasinya yang sekitar 3 jam, opening yang terasa lambat itu jadi terasa tidak berarti.

Durasi sepanjang itu tidak akan membuat Anda bosan. Apalagi setelah ketegangan demi ketegangan disuguhkan. Hebatnya, Anda akan merasakan flow yang brilian pada film ini. Antara ketegangan satu dengan yang lainnya diberikan jeda yang manis. Satu-dua jeda bahkan dikemas secara jenaka untuk menurunkan adrenalin yang sempat terpacu. Padahal adegan berikutnya bisa jadi makin membuat jantung Anda berdebar lebih keras.

Akting Jack Black, Naomi Watts, dan Adrien Brody memang tidak optimal. Karena King Kong memang bukan jenis film yang bertabur bintang dan penuh dengan olah karakter para pemainnya. Kalau itu yang Anda harapkan, tonton saja film drama!

Tapi Anda akan tetap mendapat suguhan drama yang bagus. Kalau Anda memperhatikan, ada sesuatu yang luar biasa antara King Kong dengan Ann. Sejak awal Ann berusaha untuk berkomunikasi melalui bahasa tubuh dengan King Kong sampai ketika terbentuk sebuah ikatan emosional diantara keduanya. Saya dibuat takjub ketika Ann dan King Kong sama-sama terpesona saat menyaksikan sunset dan sunrise dari ketinggian. Kecemburuan King Kong saat Ann direnggut darinya juga berhasil menampilkan sisi manusiawi makhluk ini. Membuat saya dengan isengnya menyebut film ini sebagai film maskulin.

Selain sebagai nominator sutradara terbaik dalam ajang Golden Globe Award, King Kong juga menjadi nominator dalam kategori Best Score (Musik Latar Adegan Terbaik). Tak diragukan lagi memang kepiawaian dan pengalaman James Newton Howard dalam bidang yang satu ini. Ia berhasil menyajikan suasana yang mendukung adegan yang sedang berlangsung lewat ilustrasi musiknya. Bahkan dalam adegan menegangkan sekalipun. Ini juga salah satu alasan mengapa Anda harus menontonnya dengan sistem tata suara minimal Dolby Digital Surruond. DTS tentu akan menyajikan kualitas suara yang lebih baik. Sementara Anda yang memilih menonton bajakannya, silakan menyesal!

Dihujani berbagai pujian bukan berarti King Kong tanpa cacat. Meski menggunakan efek digital tercanggih, ada beberapa adegan yang masih terlihat kasar. Salah satunya adalah ketika rombongan penjelajah berusaha menyelamatkan diri ketika dikejar Brontosaurus yang juga berusaha menghindar dari kejaran Raptor. Kualitas gambar yang sedikit bercacing di akhir film juga masih terlihat. Selain itu, ada juga beberapa movie magic yang mengganjal namun tidak akan saya ungkap di sini. Anda yang jeli pasti bisa menemukannya.

Saya memang belum pernah menonton film lain garapan sang sutradara selain trilogi TLOTR. Bahkan Heavenly Creatures (1996) yang batal edar karena produser menganggap pada tahun yang sama banyak bermunculan film-film sejenis (Mighty Joe Young, Godzilla) pun saya tidak tahu kabarnya.

Tapi mengingat TLOTR dan King Kong, tidak berlebihan kiranya kalau menobatkan Peter Jackson sebagai sutradara yang berhasil mem-blend animasi CGI dengan aktor dan aktrisnya dalam sebuah film. Apalagi kalau mengingat perfeksionisme dan obsesi besar yang selalu dimilikinya. Kita tantang saja Mr. Jackson untuk membuat film yang benar-benar "asli" garapannya. Tanpa embel-embel adaptasi apalagi remake. Anda setuju?

1 Comments:

  • At 4:31 PM , Blogger zaidan said...

    Assalamualaikum.

    Pertama kali membacai blog ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada satu sisi lagi yang baru saya temukan dari seorang Agung Dwi Cahyadi.

    Tak henti saya menyelami ketakjuban ini, tapi perasaan menemukan ini menyenangkan.

    Bertemu dengan seorang teman secara fisik rasanya tidak terlalu istimewa, tapi bertemu dalam wacana, dalam konteks dan dalam sebuah 'perjumpaan intelektual' membuat saya bersyukur berjumpa dengan Anda, Pak!

    Anggap saja ini perkenalan kita kali kedua. Selamat berjumpa, dan biarkan saya ikut berperjalanan bersama dan belajar untuk hidup.

    Wassalam,
    zai@ "tjapdjai.blogspot"

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home