Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Wednesday, December 21, 2005

Pada Sebuah Barisan

11:30. Ruangan itu baru terisi kurang dari setengahnya. Sebagian besar yang hadir sudah tidak muda lagi. Dengan kulit yang sudah kehilangan elastisitasnya dan rambut putih keperakan yang menjadi mahkota, mereka tepekur merendahkan diri. Seolah bersiap menghadapi satu-satunya kepastian dalam hidup.

Entah kekuatan apa yang membimbing. Mungkin pemahaman kalimat "Remember that death it's not the end, it is only a transition"* lah alasannya. Sehingga dengan sepenuh hati tanpa ragu lagi, mereka berada di garis depan tepat di belakang sang pemimpin. Berjajar rapi membentuk garis lurus yang membentang ujung utara-selatan ruangan itu. Menghadap arah Barat.

Sedikit demi sedikit ruangan itu makin padat. Kali ini yang datang terlihat lebih fresh. Segar bugar dan energik, meski agak lesu. Satu dua bahkan terlihat dengan tampilan yang eksklusif. Ada juga yang datang berkelompok dalam jumlah kecil. Mereka kemudian mengambil posisi yang paling strategis. Menyebar di dekat jendela, kipas angin atau teras di sekitar ruangan utama. Tak sedikit yang langsung membooking pilar bangunan untuk bersandar.

Beberapa saat setelah seruan undangan berkumandang, barulah tempat suci itu penuh. Bahkan sampai luber ke sisi kiri kanannya. Mereka yang sudah tidak kebagian tempat lagi dengan kreatif menggelar alas seadanya. Koran dan tabloid, tak peduli baru atau bekas, dibentangkan sebagai penyekat antara tubuh dengan tanah.

Ritual seminggu sekali itu pun dimulai. Dari atas mimbar seruan kebaikan menggema. Kalimat yang terucap terdengar santun, teduh, dan bijak. Jauh dari kesan urakan. Senada dengan paras penyerunya yang tidak bisa dibilang muda.

Tanpa dikomando semua bungkam. Mencoba menyimak pesan dan seruan yang disampaikan. Beberapa orang tertunduk. Ada pula yang kepalanya mengangguk-angguk. Seperti menyetujui atau memahami tiap kalimat yang didengar. Ajaibnya, mata mereka terkatup rapat! Terutama yang berhasil menduduki titik-titik strategis dan sekitarnya.

Semua sontak kembali serius. Tepat ketika munajat dimulai. Mata-mata yang sebelumnya terkatup kini terbuka. "Amin" serentak terucap mengisi jeda tiap permintaan yang dipanjatkan. Meski begitu, satu dua orang masih asyik dengan mimpinya. Hingga saudara disebelahnya harus mencolek atau menepuknya seraya mengingatkan, "Sudah waktunya menghadap".

Usai salam kedua semuanya berakhir. Selanjutnya "hanya" aktivitas tidak wajib penyambung rasa antara makhluk dengan penciptanya. Maka kerumunan itu mulai pecah. Setelah memohon seadanya, satu persatu bangkit dari simpuhnya. Yang menjadi pionir meninggalkan tempat itu rata-rata justru yang datang beberapa saat menjelang acara dimulai. Muda, segar, dan berada di barisan belakang, teras sekeliling ruang utama atau di halaman. Malah banyak yang sebelumnya ada di tempat strategis.

Tempat itu kembali beranjak sepi. Hingga hanya tersisa baris-baris depan saja. Penghuninya masih tetap mereka yang datang sejak awal. Beberapa bahkan ada di situ jauh sebelum acara dimulai. Mereka masih saja sibuk memohon. Seperti tak ingin berpisah dengan sang kekasih.

Orang muda hanya terlihat satu dua. Mungkin hanya sebanyak itulah yang sadar kelemahan dirinya. Sehingga membuat mereka betah berlama-lama bersimpuh. Atau mereka sebenarnya ingin berlomba dengan para seniornya dalam merebut simpati sang kekasih?

Sementara yang lain mulai sibuk dengan berbagai urusan. Melanjutkan rutinitas yang sebelumnya sempat tertunda. Berpacu dengan waktu. Saling salip dengan tenggat. Semua atas nama tugas semata. Yang ketika pada akhirnya selesai ditunaikan, patut mendapat sebuah perayaan.

Tak ada yang salah memang. Mungkin memang itulah kehidupan sekarang. Cepat dan dinamis. Pilihannya pun jadi makin sempit: ikut atau tertinggal. Dan sebagian besar memilih ikut. Karena ada yang bilang, "Semuanya akan tetap berjalan sampai dirimu sendiri yang menentukan untuk berhenti".

Sementara sebagian kecil memutuskan untuk tinggal. Untuk mengingatkan bahwa ada hal lain yang harus dikejar. Atau persoalan pelik yang menuntut untuk dipikirkan. Dan yang paling penting, butuh pengorbanan besar untuk jadi pelakunya.


*Dream Theater, Metropolis Part 2: Scenes From A Memory (1999)

1 Comments:

  • At 10:08 AM , Blogger hawe said...

    Mengomentari gaya bahasamu, pak.. Mantap dan mengalir. Wah, diam-diam...... Hehehehe... Gw tunggu lah novel atau kumpulan cerita seperti apa yang bisa elo tulis.

    Soal isinya, kadangkala gw pun malu sendiri karena harus selalu diingatkan oleh Sang Pemilik akan kehadiran-Nya melalui kejadian-kejadian yang 'bukan kebetulan'.

    Maka, ya Tuhan, bimbinglah kami menuju jalan yang lurus. Jalan yang Engkau ridhai, bukan jalan orang-orang yang tidak Engkau ridhai.

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home