Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Monday, November 28, 2005

Freud dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Review Film Belahan Jiwa

Sejatinya film memang bukan hanya sebuah media hiburan semata. Ada pesan yang berusaha disampaikan. Hanya saja bahasa yang digunakan tidaklah segamblang ujaran yang biasa kita gunakan. Lewat kiasan dan metafora sineas selalu berusaha untuk berinteraksi dengan para penonton.

Maka muncullah berbagai genre film. Mulai dari drama, komedi, aksi, sampai horor. Dengan cara dan gayanya masing-masing tiap genre mencoba untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Ini dilakukan selain karena selera yang berbeda, juga demi kepentingan bisnis industri film itu sendiri.

Kalau Hollywood sebagai kiblat film mainstream memiliki koleksi lengkap film dari berbagai genre dan tema tentu wajar. Karena di sana industri ini sudah berkembang selama puluhan tahun. Sementara di Indonesia sendiri yang kebangkitan dunia perfilmannya masih dalam hitungan jari bermunculannya berbagai genre dan tema baru membawa angin segar tersendiri. Selain bisa digunakan sebagai indikator kembali sehatnya dunia perfilman, juga menunjukkan suburnya kreativitas para sineas kita.

Setelah sejak awal bangkitnya film Indonesia sampai saat ini penonton dijejali film-film bertemakan cinta dan horor maka hadirnya Belahan Jiwa bagai menekan tombol F5 pada keyboard komputer Anda (refresh maksudnya-red). Meski masih dibungkus dalam sebuah kisah cinta film ini tidak menjadi kacangan. Karena memang bukan itu sebenarnya yang hendak ditampilkan dalam film ini.

Cerita diawali dengan mengisahkan aktivitas keempat tokoh. Farlyna (Dina Olivia) seorang designer betawi-garing yang terobsesi dengan pakaian terbuka, Arimbi (Marcella Zalianty) wanita lembut berprofesi sebagai psikiater yang terobsesi pada rambut, Cairo (Rachel Maryam) pelukis eksentrik yang rada-rada psycho, dan Baby Blue (Nirina Zubir) arsitek-tri language yang selalu terkenang kematian saudara kembarnya Baby Pink. Mereka berempat sangat dekat. Hingga terucap ikrar "Kucing kurus dikejar herder, ampe mampus soulmate forever" yang menyatukan keempatnya dalam sebuah ikatan.

Tokoh Cempaka (Dian Sastrowardoyo) dan Bumi (Alexander Wiguna) digambarkan sebagai sepasang kekasih yang hubungannya selalu mengalami pasang surut amat drastis. Perubahan pada diri Cempaka bisa terjadi dalam hitungan detik. Dari yang tadinya lembut dan mesra bisa langsung berubah jadi meledak-ledak, sangat defensif sekaligus agresif. Sedangkan Bumi yang lembut selalu sabar mendampingi dan menghadapi Cempaka. Ia sadar sesuatu sedang terjadi dalam diri Cempaka yang lebih dari sekedar dorongan mood semata.

Layaknya sebuah hubungan, akan terasa hambar jika berjalan datar-datar saja tanpa konflik. Para soulmates ini pun demikian. Kebersamaan yang telah berlangsung lama memang telah membangun sebuah kedekatan sendiri diantara mereka. Beberapa kejadian yang mereka alami secara bersamaan semakin meyakinkan bahwa masing-masing dari mereka memang ditakdirkan untuk bertemu dan selalu bersama. Sampai pada suatu saat semuanya terkejut karena pada saat yang bersamaan mereka hamil. Dan yang makin mengejutkan mereka hamil oleh orang yang sama. Bumi.

Peran sutradara wanita ternyata membawa sebuah sentuhan sendiri dalam sebuah film. Khusus dalam perfilman Indonesia, umumnya mereka menempatkan wanita sebagai subyek. Dengan cerdas mereka selalu menempatkan tokoh wanita pada posisi sentral tanpa terlihat superior dibandingkan tokoh pria. Lihat saja Ca Bau Kan, Arisan, dan yang terbaru Belahan Jiwa. Film-film tersebut pantas diacungi jempol.

Pengalaman Sekar Ayu Asmara (Sutradara & Penulis Cerita) sebagai penulis novel thriller sangat berpengaruh dalam film ini. Kepiawaiannya menjadikan alur film yang sebenarnya flash back ini terasa mengalir. Sehingga jangan heran jika Anda baru sadar cerita sebenarnya di menit-menit terakhir.

Sedikit bocoran (spoiler) perhatikan transisi gambar yang mengganggu sepanjang film. Selain itu, Anda yang akrab dengan Psikoanalisis-nya Sigmund Freud mungkin sudah bisa menebak cerita sebenarnya ketika Arimbi meregresi seorang pasien saat menjalani terapi.

Belahan Jiwa pada dasarnya memang sebuah film drama. Dengan jalinan cinta tokoh-tokohnya sebagai bumbu cerita. Tapi Anda jangan mengharapkan film ini dihiasi dengan soundtrack lagu-lagu yang memorable. Ilustrasi musiknya pun tidak istimewa. Film ini memang sederhana dari segi audio.

Dari segi visual Belahan Jiwa menyuguhkan kualitas gambar yang prima. Tampilan di layar terlihat cerah dan jernih, bersih dari cacing-cacing yang kerap muncul ketika kita menonton film (biasanya si) Hollywood. Tapi keunggulannya bukan hanya itu. Penataan gambar yang memanfaatkan skill fotografer profesional sekelas Roy Lolang pun memberi nilai plus film ini. Framing maupun camera works arahan Bung Roy menghasilkan gambar-gambar yang sedap dipandang.

Penokohan dalam Belahan Jiwa terbilang unik. Perhatikan karakter Bumi. Ia terlihat lebih perempuan dibanding tokoh wanita lainnya. Lembut, penyabar, pengertian bahkan intonasi ketika bicaranya pun jauh dari kesan maskulin. Ini bertolak belakang dengan metafora bumi yang biasa ditemukan dalam karya sastra. Bumi dalam dunia sastra adalah simbol dari karakter seorang wanita. Tempat dimana semua makhluk memulai kehidupan, tumbuh, berkembang, dan akhirnya mati.

Sayangnya karakter setiap tokoh terasa kurang maksimal dibawakan oleh pemerannya. Para pemeran masih belum bisa keluar dari stereotype perannya selama ini. Terutama peran yang telah membesarkan nama mereka. Hasilnya, Anda mungkin akan merujuk akting para pemeran kembali ke film-film awal mereka.

Buat Anda penikmat film dengan twisted ataupun ending yang menggantung silakan kecewa. Karena di akhir film semuanya dipaparkan dengan jelas. (Sebuah blunder menurut saya dari film dengan tema seperti ini. Apalagi penataan alur yang sedemikian apik dapat mengecoh sebagian besar penonton.) Bahkan sebuah kalimat yang sekaligus diharapkan dapat menyadarkan penonton sebagai peringatan diselipkan sebelum credit title. Sepertinya, tanpa bermaksud meremehkan logika penonton tentu, tokoh di balik layar film ini hendak menegaskan pesan yang disampaikan.

Kekuatan Belahan Jiwa memang terletak pada ceritanya. Tema yang sebenarnya berat dapat diangkat dengan baik oleh Sekar Ayu Asmara. Padahal, menurut catatan saya, ini adalah kiprah keduanya terjun ke layar lebar setelah menggarap Biola Tak Berdawai. Peran ganda sebagai sutradara dan penulis cerita ternyata justru memberikan keleluasaan berkreasi yang menjadikan film ini layak diganjar penghargaan (dari saya setidaknya). Menurut Anda?

"The Most Harry Potter" So Far

Review Film Harry Potter and The Goblet of Fire

Waktu selalu menyuguhkan sesuatu yang baru bagi setiap orang. Karena waktu selalu bergerak maju maka semuanya tidak akan pernah sama seperti sebelumnya. Sebuah keniscayaan yang siapapun tidak akan bisa memungkirinya.

Harry Potter selalu yakin akan hal itu. Maka ia selalu antusias setiap kali masa liburan berakhir. Sebab setelah itu ia akan bertemu kembali dengan Ron, Hermione, Hagrid, teman-teman dan guru-gurunya di Hogwarts. Tentu saja dengan berbagai pengalaman dan petualangan baru.

Tahun keempat di Hogwarts bukan hanya jadi milik Harry seorang. Para penggemarnya pun sama antusiasnya dengan Harry. Sejak pertama kali diangkat ke layar lebar pada tahun 2001 sekuel Harry Potter selalu ditunggu. Mereka yang umumnya adalah pembaca setia Harry Potter telah tersihir untuk melihat keajaiban CGI dalam mewujudkan imajinasi mereka di layar lebar. Maka tak mengherankan jika pada opening weekend-nya Harry Potter and The Goblet of Fire langsung menjadi pemuncak Box Office Chart dengan pendapatan US $ 101.000.000,00.

Tahun ini diawali Harry dengan menonton Kejuaraan Dunia Quidditch bersama Hermione, Ron sekeluarga, dan si ganteng Cedric Diggory beserta ayahnya. Di tengah perayaan kemenangan terjadi kekacauan. Para Death Eaters membumihanguskan seluruh tenda penonton. Dan yang paling mengejutkan adalah munculnya sebuah tanda kegelapan di langit. Tanda itu hanya punya satu arti: Voldemort telah kembali!

Setelah kejadian di Kejuaraan Dunia Quidditch itu, Harry dan teman-temannya kembali ke Hogwarts. Ternyata tahun ini adalah tahun yang istimewa bagi mereka. Hogwarts kedatangan tamu dari dua sekolah sihir lainnya, Beauxbaton dan Durmstrang. Mereka akan berkompetisi dalam sebuah turnamen sihir persahabatan. Namun ada yang berbeda kali ini. Triwizard yang biasanya hanya diikuti oleh tiga siswa dari tiga sekolah, kali ini punya empat peserta.

Terpilihnya Harry oleh Piala Api jadi kontroversi tersendiri. Karena usianya belum cukup untuk ikut turnamen, ia pun dianggap curang. Ron sempat melancarkan perang dingin terhadap Harry karena kasus ini. Sementara Hermione perhatiannya terbagi dengan seseorang yang dikaguminya. Jadilah Harry harus berjuang keras dalam menyelesaikan ketiga tugasnya dalam turnamen tersebut.
***
Pihak Warner Brothers dan J.K. Rowling sepertinya telah membuat kesepakatan dalam penggarapan HP jilid 4 ini. Terlihat dari perubahan sudut pandang bercerita dan - yang tidak dapat dielakkan (atas nama durasi tentu saja) - eliminasi detil serta cerita lain yang dianggap kurang perlu (diangkat ke layar lebar). Penonton yang berharap akan mendapat suguhan seapik HP jilid 1 dan 2 bisa jadi akan kecewa. Namun jilid 4 ini masih lebih baik dibandingkan dengan jilid 3 lalu yang mengecewakan dari berbagai sisi, kecuali CGI-nya tentu.

Keputusan Chris Columbus untuk angkat tangan ketika ditawari menyutradarai jilid-jilid HP berikutnya adalah sebuah langkah bijak. Ia seperti bisa merasakan apa yang diinginkan para penggemar Harry Potter. Karena itulah ia ngotot mempertahankan orisinalitas HP secara utuh ketika diangkat ke layar lebar. Mulai dari karakter dan chemistry tiap tokoh, setting, artistik, bahkan dialog dibuat sedekat mungkin dengan cerita aslinya. Konsekuensinya durasi jilid berikut akan lebih panjang dari jilid sebelumnya.

Mike Newell yang kali ini ditugasi sebagai sutradara belajar banyak dari kenekatan Alfonso Cuaron dalam menangani HP 3. Newell berusaha untuk mengkompromikan gaya Columbus dan Cuaron dalam menangani HP 4 ini. Ia mencoba tetap menjaga orisinalitas, resep yang dipelajarinya dari Columbus, sambil tetap berimprovisasi dan mengeliminasi bagian-bagian tertentu. Hasilnya durasi HP 4 ini kembali berada di kisaran yang sama dengan HP 1 dan 2. Sementara detil cerita maupun setting seperti asrama Gryffindor dan ruang kelas tidak terlalu diekspos. Menghindari kebingungan penonton ketika melihat banyak setting, dialog maupun cerita pada HP 3 berubah, sebagai hasil improvisasi Cuaron.

Namun kompromi ini bukan tanpa cela. Akibat pemangkasan detil dan bumbu cerita, Newell menjadikan HP 4 ini milik Harry seorang. Kalau Anda sempat memperhatikan, sejak HP 3 lalu beberapa tokoh mulai kelihatan sebagai tempelan (untuk tidak mengatakannya figuran) saja. Pada HP 4 kejadian ini terulang. Bahkan porsinya justru bertambah! Hampir semua tokoh diposisikan sebagai pendukung semata. Ron dan Hermione yang sahabat dekat Harry saja makin terlihat sebagai "figuran". Sementara Albus Dumbledore sendiri posisinya diselamatkan oleh jabatannya sebagai kepala sekolah. Maka yang terjadi adalah Harry-sentris sepanjang film.

Improvisasi adalah hal lain yang terlihat dalam film ini. Usaha untuk menjadikan HP lebih manusiawi demi menyesuaikan dengan usia Harry serta target penonton yang beranjak remaja, membawa konsekuensi lain. Porsi sihir-menyihir di jilid ini terasa berkurang. Sedangkan perjuangan mati-matian Harry selama turnamen dan aksi tanpa sihir lainnya justru ditonjolkan. Di sisi lain, usaha mengangkat sisi remaja Harry terlihat dari ketertarikannya pada seorang gadis manis, Cho. Serta sebuah pesta dansa yang digelar selama turnamen berlangsung. Menariknya ketika adegan Harry dan Ron cemburu terhadap Hermione yang bisa menikmati dansa bersama pasangannya, musik pengiringnya adalah band modern rock! Anda tentu tidak akan menemukan nuansa ini jika Columbus yang menangani.

Secara keseluruhan film ini tetap menghibur meski tidak bisa dibilang istimewa. Improvisasi Newell saat adegan Harry menyelesaikan tugas-tugas Triwizard cukup mengesankan. Aksi Harry menaklukkan sang naga ala dog fight, penyelamatan teman-temannya dari dasar Danau Hitam, dan penemuan piala dalam sebuah maze sangat terbantu oleh CGI. Kehati-hatian untuk tetap menjaga orisinalitas cerita juga layak mendapat penghargaan. Para penggemar tentu tidak akan bisa menerima jika cerita jadi banyak berubah demi memangkas durasi semata.

Harry memang telah berubah. Ia kini beranjak remaja. Anak-anak dan Anda yang masih berharap bisa melihat imajinasinya divisualkan di layar lebar pun mulai ditinggalkan. Semoga saja pada jilid berikutnya Harry tidak digambarkan menggantung tongkatnya. Kita memang tidak akan pernah tahu...

Friday, November 25, 2005

Mendengar Suara Kecil

Review film Chicken Little

Bayangkan apa jadinya jika suatu hari seorang (atau lebih cocok seekor ya?) anak usia SD bilang pada Anda, "sepotong langit jatuh!"? Siapa pun akan sulit percaya. Anda pun mungkin akan mengiyakan saja sembari menganggap itu sebagai guyon atau imajinasinya belaka, layaknya anak-anak. Atau malah menghardik dan mengusirnya karena telah membuang waktu berharga dan menjadikan Anda kehilangan wibawa di depan orang lain?

Setidaknya itulah reaksi yang ditunjukkan Buck Cluck, ayah satu (ekor) anak (ayam tentu saja) bernama Chicken Little. Apalagi Buck adalah legenda hidup. Pahlawan kota Oakey Oaks yang ketika mudanya pernah mengantarkan tim base ball sekolah kota tersebut menjadi juara. Alasan Buck pun semakin lengkap karena Chicken Little telah sukses membuat penduduk Oakey Oaks gempar dengan membunyikan lonceng tanda bahaya. Maka demi menjaga wibawanya, Buck pun meminta maaf pada penduduk kota dan menjelaskan bahwa kepala anaknya hanya tertimpa buah ek.

Kejadian tersebut ternyata sangat membekas dalam diri Chicken Little. Apalagi kota Oakey Oaks kemudian mengabadikan peristiwa "langit jatuh" itu dalam berbagai bentuk dokumentasi, salah satunya film. Ia yang merasa tidak istimewa apalagi jika dibandingkan dengan ayahnya jadi semakin sering membuat kesalahan. Dari hal-hal kecil sampai hal besar. Mulai dari terlambat ke sekolah hingga membuat gempar seluruh kota.

Dan ketika untuk kedua kalinya Little kejatuhan langit, ia pun panik. Karena langit itu tidak hanya serupa bentuknya dengan yang menimpanya beberapa waktu lalu. Tapi benda itu juga punya keistimewaan lain seperti dapat menyerupai dirinya dengan lingkungan sekitar. Sementara untuk menceritakan kejadian ini kepada ayahnya Little tidak berani. Sebab baru saja ia kembali membuat kekacauan di sekolahnya yang sebenarnya tidak disengaja sama sekali.

Akhirnya ia memutuskan untuk membagi penemuannya dengan teman-teman "tidak populer"nya Fish, Runt, dan Abby. Kejadian selanjutnya semakin membuat mereka berempat terkejut dan akhirnya terlibat dalam sebuah aksi penyelamatan kota Oakey Oaks.
***
Seorang pengamat perfilman yang juga kru sebuah majalah film berpendapat Chicken Little adalah salah satu film "berat" Disney. Meski isu sentralnya tetap keluarga namun Chicken Little menjadi tidak biasa. Karena menurutnya, film ini bercerita tentang komunikasi antara ayah dan anak yang hilang setelah kepergian ibu Little sementara Buck harus menjalankan peran ganda sebagai single parent.

Sementara yang terlintas di benak saya setelah menonton film ini adalah sebuah pelajaran untuk menghargai dan mempercayai anak kecil, dengan sepenuh hati. Betapa tidak? Saya sering melihat anak-anak yang setelah menceritakan sesuatu pada orang tuanya (terlepas itu hanya imajinasinya saja atau bukan) dihadiahi perlakuan yang tidak menyenangkan. Jangankan dukungan atau penghargaan. Yang ada justru omelan, bentakan yang terkadang dilengkapi keplakan (pernah dikeplak kan?) atau jeweran dan berakhir dengan usiran untuk menjauh. Kalau sudah begini sekeping kepercayaan bagi sang anak jadi terasa sangat mahal.

Little pun mengalami hal yang sama dari ayahnya. Tidak hanya itu saja ia bahkan mendapat petuah dari ayahnya untuk tidak usah melakukan yang bisa membuat dirinya terlihat konyol. Singkatnya Little harus bisa menjadi tidak terlihat. Jadi ordinary pe... eh chicken saja dengan segala rutinitasnya. Toh ia tidak dikaruniai bakat apa pun yang bisa dibanggakan.

Sikap ini tentu saja tidak baik. Si anak akan mengalami perkembangan mental yang tidak sehat. Dengan stigma negatif yang diberikan orang tua sejak kecil menjadikan anak tumbuh sesuai dengan "harapan" orang tuanya. Contohnya jika seorang anak selalu dicap bandel dan nakal sejak kecil maka kemungkinan besar ia akan menjadi orang seperti itu ketika remaja hingga dewasa. Padahal kenakalan anak-anak seringkali merupakan sebuah ekspresi untuk menarik perhatian orang tuanya yang terlalu sibuk. Sehingga sang anak (mungkin) terkadang hanya dianggap sebagai boneka hidup tempat melepas penat setelah bekerja.

Chicken Little ingin menyadarkan kita akan hal ini. Ia yang dipandang sebagai pembuat onar setelah peristiwa langit jatuh pleus diberi stigma seekor pecundang oleh ayahnya pun tidak bisa berbuat banyak. Apalagi teman se-gengnya, Fish seekor ikan yang jarang bicara, Runt seekor babi gendut yang sering jadi bahan ejekan, dan Abby seekor bebek buruk rupa juga diberi label negatif oleh teman-teman lain dan gurunya. Maka mereka pun menjadi kelompok hewan tidak populer yang rendah diri. Sampai suatu saat Little mendapat kesempatan untuk membuktikan dirinya. Tentu saja dengan dukungan dan bantuan penuh dari Buck ayahnya.

Sebagai film keluarga Chicken Little cukup menghibur. Tawa penonton yang kebanyakan anak-anak usia SD yang memenuhi studio bersama saya menjadi buktinya. Selain tingkah para tokohnya yang memang lucu guyonan lewat kata juga dapat mengundang tawa penonton yang lebih senior (ABG, early-middle-late 20's, parents). Dan bagi penonton senior hiburan tambahan juga ada dalam beberapa adegan yang diadaptasi dari beberapa film terkenal. Mulai dari Independence Day, Princess' Diary, The Matrix, Signs sampai dengan The War of The Worlds.

Alur cerita film ini sempat membuat saya dengan sok taunya jumping into conclusion. Tentu saja setelah menonton hingga akhir terbukti kesimpulan itu ternyata benar-benar tidak benar. Satu nilai plus buat film ini karena seingat saya tidak banyak film animasi yang punya kejutan seperti ini.

Selain itu film ini juga menyuguhkan soundtrack berupa lagu-lagu yang sudah akrab di telinga penonton usia remaja ke atas seperti Wanna Be-nya Spice Girls dan I Will Survive-nya Gloria Gaynor. Satu lagu yang orisinal (bukan recycle) dalam film ini dibawakan Five for Fighting (klo gak salah) sebagai latar adegan ketika Little membuat kekacauan dalam perjalanannya menuju sekolah. Kalau Anda perhatikan lirik lagu yang satu ini sederhana tapi cukup mengena. Bahkan untuk penonton yang sudah bukan anak-anak lagi.

Pihak Disney kembali mempercayakan Mark Dindal (The Emperor's New Groove, 2000) sebagai sutradara. Namanya dikenal pertama kali ketika menggarap sebuah film independen (sori euy lupa judulnya) yang dibintangi Natalie Portman. Film itu disebut-sebut para kritikus sebagai salah satu film komedi-cerdas terbaik yang pernah ada. Lewat Chicken Little Dindal yang juga menjadi pengisi suara Morkubine Porcupine (meski cuma "Yo", "No" dan "Wo") kembali menunjukkan kepiawaiannya. Ia berhasil menyajikan sebuah cerita sederhana menjadi sarat makna. Atau sebaliknya, mengangkat cerita bertema berat dengan cara yang mudah dicerna. Sekaligus membuktikan bahwa Disney sanggup bersaing dengan studio lain bahkan setelah bercerai dengan Pixar.

Mendaki Mimpi

"Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja dengan manusia yang nggak punya mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama." Kesimpulan ini adalah hasil diskusi lima anak muda yang telah bersahabat sejak SMA. Riani, Genta, Arial, Ian, dan Zafran. Kelimanya sampai pada kesimpulan itu setelah obrolan mereka akhirnya membawa-bawa Teori Relativitasnya Albert Einstein. Koq bisa?

Jangan membayangkan buku ini jadi sarat kiasan atau metafora yang belibet. Apalagi penuh dengan filsafat yang mumet. 5 cm adalah sebuah novel ringan yang enak dibaca. Dengan gaya bahasa anak muda umumnya, dialog-dialog yang ada jadi lebih cair. Tanpa terkesan maksa atau sok gaul. Cerita yang bersetting seputar kehidupan anak muda Jakarta usia 20-an dengan segala romantika dan kegilaannya pun terasa sangat dekat dengan realitas yang ada.

Semuanya berawal ketika mereka sedang ngobrol sambil diselingi saling ledek satu sama lain. Obrolan yang awalnya biasa saja mendadak berubah saat salah seorang dari mereka mengusulkan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Perpisahan. Meski dirasakan berat, mereka akhirnya sepakat. Dengan harapan pada saat bertemu kembali mereka benar-benar menjadi manusia-manusia baru.

Pada tanggal yang telah ditentukan mereka kembali berkumpul. Pertemuan kali ini menjadi sangat istimewa karena Genta telah merencanakan sebuah perjalanan tak terlupakan seumur hidup mereka. Perjalanan yang menyadarkan mereka kembali akan arti sebuah mimpi, sekaligus menjadikan mereka kembali merasa menjadi manusia (rehumanize). Perjalanan menuju sebuah puncak tertinggi di tanah Jawa. Mahameru.

Alam selalu punya caranya sendiri untuk mengajari manusia tentang kehidupan. Agaknya ini diyakini benar oleh sang penulis. Maka ia menjadikan perjalanan dengan kereta ekonomi Matarmaja dari Stasiun Senen dan obrolan dengan seorang supir angkot yang dicarter dari Stasiun Malang (Rehumanize), sampai susah payah pendakian menuju Mahameru (You Are The Universe, A Letter, A Heart... to Remember, dan 5 cm) sebagai sebuah wahana pembelajaran yang menarik. Lewat dialog kelima tokoh tadi ditambah Arinda (adik kembar Arial) yang ikut serta, penulis menuangkan pemikirannya dalam bentuk diskusi ringan tapi serius ala anak muda.

Diskusi filsafatnya Zafran bersama Genta tentang Socrates dan Gua Plato tersaji dengan ringan. Begitu juga dengan "penemuan" spiritual mereka berenam akan sesuatu yang pasti... yang bahkan Einstein sendiri tidak bisa menjelaskan. Padahal semuanya hanya berawal dari obrolan dan tebak-tebakan lagu. Bahkan, penulis sempat berbagi pemahamannya tentang Emotional Intelligence dan Teori Motivasi dalam beberapa segmen. Perjuangan Ian ketika menyelesaikan skripsi, kerja keras Genta mewujudkan sebuah ide gila dalam event yang digelar EO-nya, usaha Riani dalam mengejar targetnya memegang liputan dalam waktu sebulan saat magang di sebuah stasiun televisi swasta, dan puncaknya ketika mereka saling mendukung selama pendakian menuju Mahameru.

Ada rasa nasionalisme yang cukup kental di sana. Ini dilambangkan dengan pemilihan latar waktu pendakian bulan Agustus. Tentu sebagian pembaca - terutama yang hobi hiking - mafhum kalau setiap tanggal 17 Agustus, terutama di puncak-pucak gunung terkenal di Indonesia, diadakan upacara pengibaran bendera.

Selain itu, kisah cinta yang unik juga jadi bumbu yang menarik. Ternyata setelah saling mengenal selama bertahun-tahun ada benih cinta tumbuh diantara mereka. Dan masing-masing tidak menyangka orang yang mereka cintai ternyata mencintai orang lain yang juga dekat dengan mereka.

Ganjalan dalam buku ini terasa ketika pembaca menemukan sosok Riani yang tidak sesuai dengan karakter yang ada dalam intro. Di situ digambarkan Riani sebagai "sosok berkacamata, cantik, cerdas, dan seorang N-ACH sejati. Siapa saja dan apa saja bisa didebatnya, soalnya dia banyak baca dan belajar". Sementara dalam cerita selanjutnya Riani sepertinya kurang wawasan. Dalam beberapa obrolan dan diskusi ia terkesan sebagai pelengkap saja. Bahkan ia tidak tahu kalau Mahameru adalah puncak tertinggi di Jawa. Atau mungkin sengaja dibuat demikian karena sebagian besar anak muda Jakarta nggak tau?

Satu lagi yang saya sayangkan adalah antiklimaks dan ending yang terlalu cepat. Kalau digambarkan dengan kurva, dari titik tertinggi langsung menukik curam. Lalu kembali mendatar ketika semuanya pada suatu masa di depan berjalan seperti sedia kala saat mereka selalu nongkrong bersama. Padahal alur yang dibangun dari awal sudah bagus. Apalagi dengan beberapa flash back yang membuat cerita jadi tidak membosankan.

Terlepas dari itu, 5 cm menarik untuk dibaca. Terutama bagi eksponen 97 dan 98 yang ikut mengalami masa Reformasi dan para petualang yang selalu rindu pada pelajaran yang diberikan alam. Beberapa kutipan terkenal dapat menguatkan motivasi. Sementara lirik lagu yang familiar juga cukup berhasil menjadi pembawa suasana hati pembacanya.

Memorable qoutes:

"Manusia yang nggak percaya sama Tuhan sama saja dengan manusia yang nggak punya mimpi. Cuma seonggok daging yang punya nama." (hal. 278)
"...sebenarnya mudah untuk menjadi seorang insinyur yang baik, sarjana yang baik, arsitek yang baik, dan menteri yang baik, tapi susah sekali menjadi orang yang baik..." (hal. 320)
"Ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda..."
"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa bermanfaat bagi orang lain..." (dalam beberapa halaman. Sepertinya kalimat ini nggak asing ya?)

Catatan:Buku ini telah sukses mengompori saya untuk bermimpi menjejakkan kaki di Mahameru.Buat temen-temen yang masih berminat hiking; mari susun rencana 'tuk mencapai puncak Semeru tercinta. Iraha deui (dibaca: kapan lagi)?

Judul: 5 cm
Penulis: Donny Dhirgantoro
Penerbit: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia)
Cetakan: 1
Tahun: 2005
Dimensi: 21,1cm x 14cm x 1,5cm (panjang x lebar x tebal)
Harga: Rp 46.000

Sunday, November 20, 2005

Overture 091105

Susunan huruf ini sebenarnya tidak berarti apa-apa. Hanya saja saya, tentunya juga Anda, sejak kecil telah belajar untuk mengenal ke 26 deretan abjad yang sangat populer ini. Mulai dari bentuk, bunyi sampai cara penulisannya. Hingga akhirnya kita juga belajar untuk menyusun huruf-huruf tersebut menjadi kata yang apabila dirangkai akan menjelma jadi kalimat.

Kemudian beberapa orang pintar (tapi bukan paranormal lho-red) berbaik hati menyusunnya menjadi sebuah tulisan terstruktur. Sebagian membuatnya dalam kerangka sistematis akademis. Sesuai dengan latar keilmuannya. Sementara yang lain menuangkan hasil olah rasanya.

Hasilnya menakjubkan! Peradaban manusia berubah sangat cepat terutama sejak ditemukannya mesin cetak. Bahkan ada yang menganalogikan perubahan yang dialami umat manusia ini dengan beberapa menit terakhir saja menjelang tengah malam. Sehingga pantaslah kiranya momen penemuan mesin cetak dinobatkan sebagai salah satu tonggak sejarah penemuan terbesar sepanjang masa.

Belakangan saya sadar, ada proses panjang yang ditempuh hingga dunia bisa menjadi seperti sekarang. Secepat apapun dan sedahsyat apapun perubahan yang terjadi pasti ada titik awalnya. Dan hanya akan berhenti berbarengan dengan sang waktu selesai bergulir.

Maka ucapan terima kasih dan syukur yang tak terhingga kepada kedua orang tua dan para guru yang telah mengenalkan saya pada aktivitas membaca. Ungkapan yang sama juga tertuju kepada beberapa orang yang telah menginspirasi saya untuk benar-benar "membaca". Tanpa mereka mungkin saya masih berada dalam gua.