Learning 2 Live

dream BIG, START small, PAY IT FORWARD

Saturday, December 17, 2005

Negeri Anak-anak, Remaja atau Dewasa

Review Film The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe

Malam masih pekat. Ketika tiba-tiba udara dipenuhi suara raungan mesin pesawat terbang, bunyi ledakan, dan jerit ketakutan. Panik! Semua orang berusaha menyelamatkan diri. Lari ke bunker atau tempat persembunyian lainnya. Mencoba menghindar dari maut yang mengintip tiap saat. Siap menjemput siapa saja. Terutama saat perang.

Di tengah kekacauan perang itu, Peter, Susan, Edmund, dan Lucy Pevensie diungsikan ibunya ke tempat lain. Mereka dititipkan kepada seorang Profesor eksentrik yang tinggal dalam sebuah kastil besar. Pembantunya membekali berbagai macam aturan selama tinggal di kastil itu. Dua hal yang terpenting adalah tidak mengganggu sang Profesor dan tidak menyentuh benda-benda antik di situ.

Namun, saat bermain petak umpet Lucy menemukan sebuah dunia lain di belakang lemari tempatnya sembunyi. Sebuah negeri yang - menurut faun (makhluk setengah manusia berkaki kuda) bernama Tumnus yang ditemuinya - telah mengalami musim dingin selama 100 tahun. Ulah seorang Penyihir Putih yang leluasa berkuasa karena tak ada seorang pun yang berani menentangnya.

Sayangnya, ketika Lucy menceritakan penemuannya ini tak seorang pun dari saudara-saudaranya yang percaya. Ia dianggap hanya berkhayal. Hingga suatu saat, mereka berempat terpaksa masuk ke dalam lemari untuk sembunyi. Peter dan Susan yang baru kali itu "datang" akhirnya mempercayai Lucy. Dan, petualangan mereka di sebuah negeri bernama Narnia pun dimulai.
***
The Chronicles of Narnia; The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah salah satu proyek ambisius Disney. Bagaimana tidak, Narnia menjanjikan cerita keluarga yang dibalut dalam kisah epik petualangan fantasi. Konflik empat bersaudara yang berusaha menjaga keutuhan keluarga dibumbui petualangan di sebuah negeri asing yang ajaib. Di mana mereka, menurut sebuah ramalan, ditakdirkan menjadi pembebas negeri itu dari tangan Penyihir Putih.

Wajar saja memang. Mengingat setelah trilogi The Lord of The Ring karya J.R.R. Tolkien sukses besar diangkat ke layar lebar, banyak kisah epik yang kemudian juga difilmkan. Troy, Alexander, King Arthur, dan yang terakhir Kingdom of Heaven untuk menyebut beberapa judul. Meski tidak semuanya menuai sukses seperti TLOTR, raihan yang rata-rata cukup besar membuat studio sebesar Disney pun tergiur untuk meraup keuntungan dari genre ini.

Disney menggunakan ramuan tipikalnya dan momen yang tepat untuk merilis Narnia. Cerita yang berkutat di seputar Pevensie bersaudara saat jauh dari orang tua jadi menu utama. Konflik antara Peter anak lelaki tertua yang berusaha menggantikan peran sang ayah, Susan yang terlihat bersaing dengan Peter dalam merebut simpati adik-adiknya, Edmund yang pemberontak karena selain sebagai lelaki ia merasa dinomorduakan ia juga memiliki ikatan batin yang kuat dengan ayahnya, dan si kecil Lucy yang selalu saja dicap sebagai pengkhayal adalah "lahan" yang digarap Disney. Sementara, bagi orang bule yang sudah familiar dengan Narnia, rilis film ini di bulan Desember dirasakan tepat. Mereka yang notabene sebagian besar umat Kristiani tentu tidak terlalu sulit melihat pesan lain dari film ini. Karena karya C.S. Lewis memang dikenal dengan kisah menarik yang sarat dengan nilai religius. Maka kehadirannya dalam suasana Natal diharapkan dapat membuat suasana liburan keluarga semakin bermakna.

(Sekedar info Narnia adalah salah satu karya C.S. Lewis, seorang penulis yang sezaman sekaligus sobat karibnya Tolkien. Konon, mereka berdua pernah membuat semacam kesepakatan untuk membuat kisah yang diinspirasi dari dan mengangkat nilai-nilai moral Bible. Hasilnya, karya monumental mereka memang banyak mengilhami penulis-penulis generasi berikutnya.)

Sayangnya Disney terasa kurang serius menggarap Narnia. Bahkan terkesan gamang. Disney yang selalu membidik keluarga sebagai target penontonnya, (menurut saya) gagal memfokuskan sasaran. Memang, AMPAS (semacam LSF-nya sono) memberi rating PG (Parents Guide atau Bimbingan Orang tua) untuk film ini. Tapi ini bukan berarti Narnia otomatis menjadi film keluarga. Rating tersebut rasanya diberikan dengan pertimbangan durasi yang panjang, sekitar 140 menit.

Durasi sepanjang itu tentu melelahkan bagi anak-anak. Apalagi jika disuguhkan dengan alur yang lambat. Jadi, rasanya tidak mungkin memberi rating G (General Audience atau Untuk Semua Umur) untuk film ini. Sementara bagi remaja yang sudah lebih dulu tersihir Harry Potter, tentu mendambakan petualangan yang seru sepanjang film. Dan bagi para orang tua, mungkin akan mengharapkan kisah lebih "berat" yang kemudian bisa dicerna dan dibagi kepada anak-anaknya.

Semua harapan itu tak bisa dipenuhi Disney. Alur cerita dalam Narnia berjalan sangat lambat. Bayangkan, selama kurang lebih satu jam Anda hanya disuguhi pengantar saja. Baru pada paruh berikutnya lah petualangan The Pevensies di Narnia dimulai. Itu pun dengan tersendat-sendat. Aksi petualangan dan adegan perang kolosal yang menjadi daya tarik penonton usia remaja ke atas mendapat porsi yang minim dari total durasi. Alhasil, durasi sepanjang itu terkesan sebagai pemaksaan improvisasi saja.

Selain itu, sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan: "Narnia tu film apa sih?" Karena untuk menyebutnya film drama keluarga sangatlah tidak mungkin. Sementara untuk mengganjarnya sebagai film aksi petualangan juga tidak memenuhi kriteria. Apalagi untuk mengatakannya film epik. Maka jadilah Narnia sebagai salah satu film fiksi-legenda-religius bagi saya.

Kualitas gambar yang jernih adalah salah satu yang bisa saya acungi jempol dari film ini. Gambar yang ditampilkan sejernih Belahan Jiwa, tanpa cacing-cacing atau bintik-bintik. Anda yang biasanya langsung berdiri dari tempat duduk begitu film selesai sebaiknya bersabar sejenak. Karena ada sepotong adegan pendek yang diselipkan diantara credit title (itu lho, nama-nama pemeran dan kru-nya). Saya pun mendengar Alanis Morisette menyanyikan sebuah soundtrack di akhir film ini. Tepatnya ketika credit title bergulung.

Sementara untuk audio, saya berharap ini hanya kasuistik belaka. Saat saya menonton, audio yang terdengar tidak seperti suara standar surround sebuah bioskop. Efek surround terdengar tipis sekali. Suara bass dari sub woofer juga terasa kasar dan nggak nendang sama sekali. Bahkan, ini yang aneh, setting suaranya terdengar flat. Anda yang penggemar hi-end audio atau yang terbiasa mendengarkan suara dari berbagai perangkat elektronik yang berbeda mungkin bisa merasakannya.

C.S. Lewis memang beda dengan Tolkien. Ia memiliki pembacanya sendiri, anak-anak. Maka ketika kisahnya diangkat ke layar lebar dan dimaksudkan untuk konsumsi yang lebih luas, diperlukan ketekunan yang luar biasa dalam penggodokannya. Mulai dari pra sampai dengan pasca produksi. Sehingga penonton, baik yang sudah pernah membaca bukunya maupun yang belum, dapat menikmati suguhan yang apik.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home